Kantor Urusan Agama Kecamatan Pamotan
Kantor Urusan Agama Kecamatan Pamotan
Image 1
Image 2
Image 3
Image 4
Image 5

Tadarus Puisi Penyuluh KUA Pamotan Part 1

 


Khotbah di Atas Sampah

 

Diatas mimbar keagungan yang pongah

Aku terus berbicara tentang bahasa cinta

Dari buku buku suci yang tak henti aku pelajari

Sambil sesekali terlontar caci maki kepada jemaat yang katanya akau sayangi

 

Dengan sorban kebesaran yang tampak tamak

Seringkali aku berkisah tentang para nabi

Pembawa risalah

Menghantar mimpi pada malam tanpa rumah

Sambil sesekali aku busungkan dada menepuk nepuk kepala

Yang sebenarnya hanya berisi kotoran dan samapah

 

Di atas altar suci yang bergoyang karat,

Aku lanjut berkhotbah, suara merdu menyentak

Tentang surga yang penuh madu dan susu,

Namun lupa, tanah di bawah kaki penuh debu.

 

Dengan tangan yang gemetar memegang kitab,

Aku menuntun, seolah tak ada yang bisa dilihat,

Padahal di balik jubah indah penuh noda,

Aku jual kebajikan seharga seribu dusta.

 

Berkisah tentang para sufi yang terbang tinggi,

Namun tak pernah kulihat mereka,

Kecuali di dalam mimpi yang terlalu indah

Untuk dibawa ke pagi yang penuh janji palsu.

 

Oh, betapa seringnya aku melantunkan ayat-ayat sakti,

Yang menggetarkan hati, menggetarkan jiwa,

Namun ketika malam tiba,

Aku lupakan arti sabar, arti cinta, arti luka.

 

Dengan gemerlap perhiasan yang mengaburkan mata,

Aku berbicara tentang kesederhanaan dan kebijaksanaan,

Namun celah-celah di tubuhku penuh kerak,

Tak ada yang tahu, selain mereka yang duduk di bawah mimbar keangkuhan ini.

 

Kalian, wahai jamaah yang setia menatap,

Siapakah yang lebih buta: aku dengan sorban besar ini,

Atau kalian yang percaya pada kata-kata yang terbang seperti angin?

Kita semua menginginkan cinta,

Namun hanya menemukan caci maki dalam pelukan kata-kata kosong ini.

 

Di ujung sabar yang kian menipis,

Aku berharap kalian bisa melihat:

Bahwa kebesaran bukanlah pada jubah atau kata-kata,

Melainkan pada mereka yang diam dan berdiri tanpa mencari kemegahan.

 

Rembang, April 2025


 

Menuju  ujung Taqwa

 

aku peluk dahaga

bersama lapar yang menyapa

aku sumbatkan segala ingin di antara pori-pori kulit yang mengering

hingga batas cakrawala imsak puasa

 

kusimpulkan detik dalam helai-helai sunyi

yang menggigil menunggu azan subuh mengalir di udara

kubasuh jiwa dengan sepi yang jernih

seraya kupintal sabar di ujung helaan napas terakhir

 

keringat menjadi doa tanpa suara

dan tubuhku menjelma sajadah luka

namun ruh ini tetap berdiri

menyulam makna dalam setiap jeda yang fana

 

Perintah telah tertitah

Sebagaimana para pendahulu menerima amanah

Agar kita mampu bertahta

Di pelataran pucuk cahaya Taqwa

 

maka kutundukkan angkuh dunia

kugembok gemerlap fana dengan kunci derma

kusandarkan letih di pangkuan sujud

dan kutempa nafsu di tungku rindu yang luruh

 

langkah-langkah pun menjelma zikir

setiap diam menjadi tafsir

tentang arti menahan, tentang seni berserah

hingga jiwa larut dalam harum sabar yang megah

 

kutata hati dalam barisan malam

yang sunyinya melafaz rahasia salam

kupintal rindu pada Yang Maha Mendengar

dalam tiap denyut yang enggan gugur

 

puasa bukan sekadar lapar

tapi cahaya yang menyusup lewat celah-celah sabar

ia menuntunku menyingkap tabir diri

mengenali luka, mencuci iri, memadam murka yang tersembunyi

 

di penghujung waktu yang makin renta

kupasrahkan seluruh sisa tenaga

semoga layak kusematkan diri

di antara para perindu yang kembali suci

 

Hembus nafasmu

bagai kesturi menyesaki rimbun wewangi

Letih tidurmu

Adalah pengabdian terganjar penuh pahala

 

bahkan diam matamu

menjadi tasbih yang tak bersuara

dan detak jantungmu

menjadi syair yang hanya difahami langit dan cahaya

 

kau bukan sekadar menahan

kau sedang menjelma pelita dalam gelap ujian

membakar diri demi menyinari

jalan kembali menuju Rabb yang abadi

 

kini fajar merekah

mengantar jiwa pada takbir yang megah

segala letih menjelma berkah

segala luka tersulam indah dalam ridha dan amanah

 

ini bukan sekadar usai

ini kemenangan yang tak terlihat oleh mata dunia

saat hati bebas dari debu ria

dan ruh bersujud dalam damai yang tak terbata

 

kau menang, wahai jiwa yang tenang

bukan karena dunia tunduk di kakimu

tapi karena dirimu tunduk sepenuhnya

kepada Dia yang menggenggam segalanya

 

Rembang, april 2025


 

AKU ADALAH KATA

 

Aku adalah kata,

lahir dari senyap yang menunggu disapa.

Jemariku menari di atas sunyi,

merangkai huruf seperti doa yang tak henti.

 

Setiap aksara adalah denyutku,

mengalir dalam salur bahasa kalbu.

Aku meneduhkan warna pada gelombang kefahaman,

yang fana, namun sempat jadi harapan.

 

Dalam tiap titik dan koma,

tersembunyi jiwa yang bicara.

Bukan sekadar tulisan tanpa suara,

tapi gema rasa yang menembus cakrawala.

 

Jika dunia hanya debu sementara,

biarlah puisiku menjadi cahaya yang menyapa.

Meski lenyap dalam waktu yang tua,

namaku akan hidup di balik aksara.

 

 

C.H

Posting Komentar