Khotbah
di Atas Sampah
Diatas
mimbar keagungan yang pongah
Aku
terus berbicara tentang bahasa cinta
Dari
buku buku suci yang tak henti aku pelajari
Sambil
sesekali terlontar caci maki kepada jemaat yang katanya akau sayangi
Dengan
sorban kebesaran yang tampak tamak
Seringkali
aku berkisah tentang para nabi
Pembawa
risalah
Menghantar
mimpi pada malam tanpa rumah
Sambil
sesekali aku busungkan dada menepuk nepuk kepala
Yang
sebenarnya hanya berisi kotoran dan samapah
Di
atas altar suci yang bergoyang karat,
Aku
lanjut berkhotbah, suara merdu menyentak
Tentang
surga yang penuh madu dan susu,
Namun
lupa, tanah di bawah kaki penuh debu.
Dengan
tangan yang gemetar memegang kitab,
Aku
menuntun, seolah tak ada yang bisa dilihat,
Padahal
di balik jubah indah penuh noda,
Aku
jual kebajikan seharga seribu dusta.
Berkisah
tentang para sufi yang terbang tinggi,
Namun
tak pernah kulihat mereka,
Kecuali
di dalam mimpi yang terlalu indah
Untuk
dibawa ke pagi yang penuh janji palsu.
Oh,
betapa seringnya aku melantunkan ayat-ayat sakti,
Yang
menggetarkan hati, menggetarkan jiwa,
Namun
ketika malam tiba,
Aku
lupakan arti sabar, arti cinta, arti luka.
Dengan
gemerlap perhiasan yang mengaburkan mata,
Aku
berbicara tentang kesederhanaan dan kebijaksanaan,
Namun
celah-celah di tubuhku penuh kerak,
Tak
ada yang tahu, selain mereka yang duduk di bawah mimbar keangkuhan ini.
Kalian,
wahai jamaah yang setia menatap,
Siapakah
yang lebih buta: aku dengan sorban besar ini,
Atau
kalian yang percaya pada kata-kata yang terbang seperti angin?
Kita
semua menginginkan cinta,
Namun
hanya menemukan caci maki dalam pelukan kata-kata kosong ini.
Di
ujung sabar yang kian menipis,
Aku
berharap kalian bisa melihat:
Bahwa
kebesaran bukanlah pada jubah atau kata-kata,
Melainkan
pada mereka yang diam dan berdiri tanpa mencari kemegahan.
Rembang, April
2025
Menuju
ujung Taqwa
aku
peluk dahaga
bersama
lapar yang menyapa
aku
sumbatkan segala ingin di antara pori-pori kulit yang mengering
hingga
batas cakrawala imsak puasa
kusimpulkan
detik dalam helai-helai sunyi
yang
menggigil menunggu azan subuh mengalir di udara
kubasuh
jiwa dengan sepi yang jernih
seraya
kupintal sabar di ujung helaan napas terakhir
keringat
menjadi doa tanpa suara
dan
tubuhku menjelma sajadah luka
namun
ruh ini tetap berdiri
menyulam
makna dalam setiap jeda yang fana
Perintah
telah tertitah
Sebagaimana
para pendahulu menerima amanah
Agar
kita mampu bertahta
Di
pelataran pucuk cahaya Taqwa
maka
kutundukkan angkuh dunia
kugembok
gemerlap fana dengan kunci derma
kusandarkan
letih di pangkuan sujud
dan
kutempa nafsu di tungku rindu yang luruh
langkah-langkah
pun menjelma zikir
setiap
diam menjadi tafsir
tentang
arti menahan, tentang seni berserah
hingga
jiwa larut dalam harum sabar yang megah
kutata
hati dalam barisan malam
yang
sunyinya melafaz rahasia salam
kupintal
rindu pada Yang Maha Mendengar
dalam
tiap denyut yang enggan gugur
puasa
bukan sekadar lapar
tapi
cahaya yang menyusup lewat celah-celah sabar
ia
menuntunku menyingkap tabir diri
mengenali
luka, mencuci iri, memadam murka yang tersembunyi
di
penghujung waktu yang makin renta
kupasrahkan
seluruh sisa tenaga
semoga
layak kusematkan diri
di
antara para perindu yang kembali suci
Hembus
nafasmu
bagai
kesturi menyesaki rimbun wewangi
Letih
tidurmu
Adalah
pengabdian terganjar penuh pahala
bahkan
diam matamu
menjadi
tasbih yang tak bersuara
dan
detak jantungmu
menjadi
syair yang hanya difahami langit dan cahaya
kau
bukan sekadar menahan
kau
sedang menjelma pelita dalam gelap ujian
membakar
diri demi menyinari
jalan
kembali menuju Rabb yang abadi
kini
fajar merekah
mengantar
jiwa pada takbir yang megah
segala
letih menjelma berkah
segala
luka tersulam indah dalam ridha dan amanah
ini
bukan sekadar usai
ini
kemenangan yang tak terlihat oleh mata dunia
saat
hati bebas dari debu ria
dan
ruh bersujud dalam damai yang tak terbata
kau
menang, wahai jiwa yang tenang
bukan
karena dunia tunduk di kakimu
tapi
karena dirimu tunduk sepenuhnya
kepada
Dia yang menggenggam segalanya
Rembang,
april 2025
AKU ADALAH KATA
Aku adalah kata,
lahir dari senyap yang menunggu disapa.
Jemariku menari di atas sunyi,
merangkai huruf seperti doa yang tak henti.
Setiap aksara adalah denyutku,
mengalir dalam salur bahasa kalbu.
Aku meneduhkan warna pada gelombang kefahaman,
yang fana, namun sempat jadi harapan.
Dalam tiap titik dan koma,
tersembunyi jiwa yang bicara.
Bukan sekadar tulisan tanpa suara,
tapi gema rasa yang menembus cakrawala.
Jika dunia hanya debu sementara,
biarlah puisiku menjadi cahaya yang menyapa.
Meski lenyap dalam waktu yang tua,
namaku akan hidup di balik aksara.
C.H
Posting Komentar